Catatan: Muhammad Nur
Jumlah angkatan kerja berdasarkan Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas), Badan Pusat Statistik Indonesia pada Februari 2025 sebanyak 153,05 juta orang. Jumlah ini bertambah 3,67 juta orang dibanding Februari 2024. Penduduk bekerja pada Februari 2025 sebanyak 145,77 juta orang. Selisihnya terdapat 7,28 juta pengannguran terbuka. Dari data tersebut terdapat Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) pada Februari 2025 sebesar 4,76 persen. Jumlah pengangguran terbuka yang melebihi 7 juta, itu yang memicu setiap ada pembukaan lowongan kerja diserbu oleh pelamar. Masalah ini perlu mendapat perhatian yang serius.

Apakah solusi ini dapat lahir dari perguruan tinggi? Para kaum terdidik yang diluluskan siap juga menghasilkan usaha baru dan dapat menyerap tenaga kerja? Sebagai dosen dan peneliti saya sering mengatakan kepada para mahasiswa saya bahwa hasil tugas akhir dapat dijadikan dasar untuk memulai usaha baru. Jadi dapat dikatakan kampus secara terintegrasi dapat menggalang semua kekuatannya untuk menghasilkan iknkubator bisnis (IB) yang pada akhirnya dapat berkontribusi dalam menciptakan unit usaha baru. Dalam konteks ekonomi modern yang ditandai oleh disrupsi teknologi dan kebutuhan akan solusi baru di berbagai sektor, peluang usaha baru sangat mungkin.
Banyak usaha rintisan (start-up) di seluruh dunia dimulai dari ide-ide inovatif. Laporan Global Entrepreneurship Monitor (GEM) mencatat bahwa di negara-negara berkembang, lebih dari 40% pengusaha baru memulai usaha karena mereka melihat adanya peluang inovatif di pasar. Di sektor teknologi dan manufaktur, satu inovator bisa menciptakan usaha yang langsung mempekerjakan 5–50 orang dalam 2 tahun pertama, dan bisa berkembang jauh lebih besar.
Setiap unit usaha yang diciptakan oleh inovator tidak hanya mempekerjakan karyawan secara langsung, tetapi juga menciptakan ekosistem kerja tidak langsung. Misalnya mitra distribusi dan reseller. Layanan pendukung (keuangan, logistik, teknologi). Misalnya, dalam satu studi oleh MIT (Massachusetts Institute of Technology), ditemukan bahwa satu start-up teknologi dapat menghasilkan hingga 5-10 pekerjaan tambahan secara tidak langsung di sektor lainnya.
Inovator tidak hanya menciptakan usaha untuk keuntungan, tetapi juga usaha sosial yang menyasar kelompok rentan, seperti petani, nelayan, atau masyarakat luas. Berbeda dengan bisnis konvensional, usaha berbasis inovasi (terutama teknologi digital atau manufaktur canggih) bisa di-scale up dengan cepat ke wilayah dan negara lain. Contoh seperti Gojek dan Tokopedia dimulai dari satu tim inovator, kini menyerap ratusan ribu pengemudi, pedagang kecil, dan pekerja digital.
Dalam konteks ekonomi yang terus berubah, “pencipta lapangan kerja” (job creator) bukan lagi sekadar pelaku usaha yang mempekerjakan karyawan, melainkan juga agen inovasi dan transformasi sosial. Beberapa isu menarik untuk digali lebih dalam antara lain:
Ekonomi platform dan gig economy sebagai lahan subur untuk job creator baru. Aplikasi ride-hailing, pengantaran makanan, dan marketplace freelance telah membuka peluang usaha bagi individu dan UMKM. Namun di sisi lain muncul tantangan regulasi, perlindungan sosial, dan kualitas pekerjaan. Melihat bagaimana platform mengelola rating, kompensasi, dan skema kemitraan bisa memberi wawasan tentang model penciptaan lapangan kerja abad ke-21.
Selanjutnya penciptaan lapangan kerja hijau (green jobs) dalam kerangka pembangunan berkelanjutan. Peralihan menuju energi bersih, manajemen limbah, dan ekonomi sirkular memerlukan sinergi antara inovator teknologi, pembuat kebijakan, dan investor. Mengangkat studi kasus perusahaan yang berhasil menciptakan lapangan kerja di sektor energi terbarukan atau urban farming dapat menjadi tolok ukur bagaimana “job creator” mendorong pertumbuhan ekonomi sambil menjaga kelestarian lingkungan.
Selain itu yang lebih menarik adalah sinergi antara ekosistem pendidikan–industri. Banyak lulusan perguruan tinggi menghadapi kesenjangan kompetensi (skills mismatch) dengan kebutuhan industri. Job creator unggul sering kali aktif berkolaborasi dengan politeknik, universitas, dan lembaga vokasi untuk menyusun kurikulum adaptif, program magang, serta penelitian terapan. Eksplorasi model Triple Helix (akademia–industri–pemerintah) dapat menunjukkan bagaimana inovasi riset diterjemahkan menjadi produk dan sekaligus menyerap tenaga kerja.
Harapan berikutnya adalah peran kebijakan dan insentif fiskal. Pemerintah dapat mendorong penciptaan lapangan kerja melalui keringanan pajak, hibah inovasi, dan zona ekonomi khusus. Namun, insentif yang kurang terukur bisa menimbulkan beban anggaran atau tetap gagal menarik investasi produktif. Analisis komparatif kebijakan di berbagai negara ASEAN misalnya, dapat memberi gambaran praktik terbaik (best practice) dalam menciptakan iklim usaha yang kondusif.
Dengan mengeksplorasi isu-isu tersebut dalam kerangka riset atau kajian kebijakan, kita tidak hanya memahami bagaimana job creator beroperasi hari ini, tetapi juga merumuskan strategi untuk memaksimalkan dampak positifnya bagi pembangunan ekonomi inklusif dan berkelanjutan. Gambar dibawah ini adalah Sistem Pengelolaan dan Penyimpanan Produk Hortikultura berteknologi Plasma Ozon dipamerkan pada Agrimat 2025 bertempat di Muladi Dome Undip Semarang.
Penulis adalah pendiri PT. Dipo Technology, perusahaan manufactur berbasis teknologi plasma.